THE DEATH OF EXPERTISE : LITERASI DI TEPI JURANG

The Death of Expertise : Literasi di Tepi Jurang

Oleh: Muh Shirli Gumilang

Tom Nichols dengan hipotesisnya menyatakan bahwa dengan adanya internet justru memperlemah kemampuan seseorang, termasuk intelektual dalam melakukan penelitian dasar. Itulah yang ia tuliskan dalam buku “The Death of Expertise”. Pada dasarnya, manusia akan mudah percaya dan meyakini kebenaran tanpa melakukan pengujian dasar terhadap informasi yang ia terima. Sebagian darinya, menerima dan membuatnya seolah memiliki kebenaran atas semuanya. Menurut Nichols orang-orang sok tahu bisa menjelma menjadi siapa saja. Saya, kamu, kalian, orang tua kita, saudara, sahabat, teman-teman dekat bahkan, dapat menjadi dosen atau guru kita. Kaya, atau miskin, tua, atau muda. Di sekolah, kampus, warkop, tidak luput dari orang-orang sok tahu akan suatu isu yang sebenarnya tidak mereka kuasai secara mendalam. Tak hanya di dunia nyata, di dunia internet, banyak terjadi percakapan-percakapan antara awam vs awam. Internet, menjadi wadah pertukaran informasi yang tidak kredibel, kredibel, kumpulan hoaks, konspirasi, dll. Informasi dan percakapan yang terjadi di internet tidak terbendung dan terkadang membuat saya mual dengan “pertikaian” yang terjadi. Lelah, kita mendengar semua percakapan yang tak berujung, meributkan apa yang dianggap sebuah kebenaran tak berdasar. Dan hal tersebut yang membuat “Matinya Kepakaran”.

“Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik: kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik” Tom Nichols

Banyak dari masyarakat yang masih mempercayai mitos, dongeng, tahayul dan teori konspirasi. Tak hanya di pedesaan, di perkota juga masih banyak yang meyakini sepenuhnya. Saya tidak tahu kenapa mereka mempercayainya, bisa jadi karena itu adalah ciri khas daerah tertentu, atau mempunyai manfaat yang belum dapat dijelaskan secara sains. Atau bahkan dengan sengaja teori konspirasi itu dimunculkan untuk mengundang sensasi, dan menarik perhatian.

 

Teori konspirasi dimunculkan untuk menantang dan menentang sebuah kebenaran yang muncul di masyarakat baik yang sudah terbukti secara ilmiah atau yang masih bersifat teori yang belum terpecahkan kebenarannya. Sebagai contoh teori konspirasi bahwa bumi itu datar, yang menentang kebenaran bumi itu bulat. Berbeda dengan tahayul, teori konspirasi sebagai suatu teori yang berusaha untuk dapat menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu maupun serangkaian peristiwa merupakan suatu hal yang bersifat rahasia dan sering kali memperdaya seseorang, direncanakan secara diam-diam oleh pihak tertentu seperti sekelompok orang maupun organisasi yang memiliki kuasa tinggi serta sangat berpengaruh. Umumnya, peristiwa yang dikaitkan dengan konspirasi merupakan peristiwa politik, sejarah maupun sosial. Teori konspirasi ini bagaikan bola liar yang menggelinding entah menyentuh siapa saja yang mendekatinya, dan akan membakar siapa saja. Tidak pandang bulus, dari ojek pangkalan sampai orang kantoran, dari diskusi warungan sampai pembuat kebijakan. Teori konspirasi ini dapat mempengaruhi siapa saja.

 

Tidak ada orang yang ahli dalam setiap bidang, dan setiap bidang memiliki ahlinya. Melihat konteks kekinian di mana  setiap orang dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi. Banyak diantara kita (orang awam -red), seolah mengetahui semuanya, padahal nyatanya tidak. Dan celakanya, dapat dengan mudah menyebarluaskan informasi yang tidak diketahui kebenarannya. Hal inilah yang menjadi faktor matinya kepakaran. Terbukanya arus informasi tanpa validitas kebenaran membuat metodologi ilmiah tidak lagi dipandang sebagai pendekatan sains. Mari kita belajar dari Imam Syafiie. Dikisahkan saat beliau sedang belajar kepada gurunya yakni Imam Maliki, Imam Syafiie mengajarkan kepada kita dalam ungkapannya yaitu bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku.”

 

Faktor lainnya yang menyebabkan matinya kepakaran ini adalah biasnya pandangan pakar terhadap keilmuannya. Subjektivitas terhadap suatu keilmuan membuat kepakarannya berpihak pada kepentingan. Sebagai contoh, perhimpunan dokter spesialis kejiwaan di Amerika Serikat atau American Psychiatric Association (APA) menjadikan Diagnostic and Statistical Manual of Mental (DSM) sebagai rujukan dunia dalam penanganan penyakit kejiwaan. Dalam versinya yang ke IV (1994), DSM memandang bahwa LGBT bukan termasuk dalam kelainan atau penyakit kejiwaan. Hal ini menjadi kontroversi karena penentuan pengkategorisasian tersebut dilakukan secara voting yang dimenangkan oleh 5.854 suara dari 9.664 suara. Hal tersebut tentu sarat dengan muatan kepentingan, karena DSM versi sebelumnya dilakukan dengan metode ilmiah bukan berdasarkan pada voting anggota APA. Lebih lanjut DSM IV di susun oleh tujuh orang pakar psikologis dan belakangan setelah DSM IV diterbitkan, lima dari tujuh orang tersebut mendeklarasikan bahwa mereka termasuk dalam LGBT. Judith M Glassgold Psy. Dia sebagai ketua (lesbian), Jack Dreschers MD (homoseksual), A. Lee Beckstead Ph.D (homoseksual), Beverly Grerne merupakan lesbian, Robbin Lin Miler Ph.D (biseksual), Roger L Worthington (normal), tapi pernah mendapat Catalist Award dari LGBT Resource Centre, dan Clinton Anderson Ph.D (homoseksual).

 

Kepentingan personal, golongan dari para pakar dalam keilmuannya membuat lebih nyata bahwa saat ini memasuki era evolusi terbalik. Begitu banyak fitnah yang bertebaran, tidak ada yang tahu akan kebenarannya. Mengingatkan kita bahwa sangat sulit untuk menentukan suatu kebenaran mutlak jika pakar dipenuhi dengan kepentingan. Hal inilah yang menyebabkan banyak bermunculan teori konspirasi sebagai bentuk penolakan terhadap kepakaran. Sebagai seorang yang awam, tentu saya harus lebih hati-hati dalam mencari rujukan dan informasi. Salah mengambil rujukan dan kesimpulan bisa jadi kita terjerumus masuk jurang kebodohan. (_mSg_)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

POST LAINNYA