Nyaringnya Tawa Ananda, Bahagianya Orang Tua
Oleh: Nurul Aeni
Tidak ada satupun institusi pendidikan formal yang berani membuka sekolah untuk kelas orang tua. Sekalipun berjamurnya pelatihan-pelatihan parenting pada akhir-akhir ini, sesungguhnya keterampilan menjadi orang tua adalah proses panjang pembelajaran.
Orang tua millenial. khususnya saya merasa beruntung hidup di jaman ini. Dimana akses informasi melimpah. Ada banyak kelas-kelas parenting yang bisa diikuti. Ada materi tentang pengasuhan di era digital, materi tentang memutus rantai luka batin masa lalu, hingga bagaimana menghadapi anak saat akan akil baligh. Namun, setelah melalui pengalaman langsung mengasuh anak-anak, belajar materi saja tidaklah cukup.
Sekalipun sudah mencoba merilis diri, memaafkan kesalahan yang mungkin orang tua saya dulu pernah lakukan. Masih juga belum cukup. Terkadang, saya sering latah membentak, latah memarahi atau mencubit anak. Padahal saya sudah mendapatkan banyak materi tentang gentle dicipline, yakni bagaimana mendisiplinkan anak dengan komunikasi efektif.
Seolah, dalam diri saya ada sebuah sistem otomatis yang tertanam. Ketika anak menguji kesabaran, tubuh latah bergerak mencubit, mulut latah memarahi. Padahal saya tahu, bahwa hal tersebut akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Lantas mengapa demikian?
Sesungguhnya ketika ketika menjadi orang tua, maka seharusnya kita siap dengan segala konsekuensinya. Sejatinya, kita, orang tua, tak ubahnya seperti anak-anak. Masih belajar mengelola emosi. Marah, sedih, kesal dan berbagai emosi lainnya.
Dalam bukunya Senyaring Tawa Ananda karya Yeti Widiati, banyak kisah-kisah pengasuhan yang ditulis apik dari sudut pandang beliau sebagai seorang psikolog anak. Hampir dari semua masalah anak-anak yang terlihat, merupakan cerminan masalah orang tuanya. Buku ini menjadi refleksi bagi saya pribadi sebagai orang tua, ada banyak hal yang harus dibenahi segera. Hampir tidak ada orang tua yang membeci anak-anak mereka. Sesungguhnya orang tua terikat erat secara emosi dengan anak-anak. Faktanya, justru banyak dari orang tua yang terlalu mencintai anak hingga lupa batasan. Cinta berlebihan itu yang malah menjadi belenggu anak hingga potensinya tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Buku senyaring tawa ananda merupakan kumpulan pengalaman ibu Yeti selama melakukan konseling dengan para orang tua. Ia memadukannya dengan pengalamanya sendiri sebagai orang tua. Buku ini bukan buku teoritis tentang pengasuhan, tetapi praktik baik dalam pengasuhan. Jika boleh memilih, saya lebih senang membaca buku-buku semacam ini yang lebih mudah diimplementasikan dalam keseharian, daripada buku tebal dengan bahasa ilmiah yang kurang kontekstual.
Ada empat hal yang saya ambil sebagai refleksi saya setelah membaca buku ini:
1. Kesadaran Bahwa Anak Adalah Titipan
Mengasuh anak dari sejak ia lahir, kemudian membersamai tumbuh kembangnya. Mencintainya sepenuh hati. Proses tersebut terkadang menjebak kita atas rasa kepemilikan yang berlebihan. Kita menjaga anak-anak dengan sungguh-sungguh, takut ia kelaparan, takut ia kesakitan, takut ia diambil orang, dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya. Padahal, Allah, Sang Pemilik yang sesungguhnya bisa melakukan apapun sesuai kehendakNya. Oleh karenanya, orang tua, mesti menyadari bahwa tugasnya adalah mengasuh mendidik dan memberikannya rasa aman. Tidak berhak mengklaim kepemilikan yang akan menjebaknya pada kecemasan dan jurang keputusasaan.
2. Gentle Dicipline
Mendidik anak sama dengan mendidik diri. Mendisiplinkan anak sama dengan mendisiplinkan diri. Ketika kita latah menghukum, membentak, mencubit anak ingatlah sebetulnya kita sedang mendidik anak untuk melakukan hal yang sama. Oleh karenanya bertindaklah dengan santun kepada anak, sebagaimana kita mengharapkan perilaku santun tersebut ada dalam diri anak. Pada konsep gentle dicipline, orang tua didorong untuk mendisiplinkan dengan cara yang gentle, alias tidak menggunakan kekerasakan dalam implementasinya.
3. Komunikasi Efektif
Ada banyak motivator yang bisa menggugah orang melalui ucapannya. Ada banyak pengusaha yang sukses karena self talk yang positif. Ada banyak pemimpin yang menginspirasi karena pidatonya. Hal tersebut menunjukan bahwa kemampuan komunikasi menjadi salah satu indikator sukses dalam sebuah persuasi (selain perilaku).
Dalam buku ini ada banyak contoh komunikasi efektif yang bisa dilakukan orang tua. Seperti mengganti kata “harus” menjadi kata “perlu”. Bukan “kamu tuh nak, harus makan biar sehat”, tetapi diganti menjadi “Nak, kamu perlu makan agar badan sehat”. Atau penggantian kata jangan menjadi kalimat positif/kalimat yang lebih kontesktual. Bukan “Nak, jangan lari-lari!”, tetapi bisa diganti dengan “Nak, jalan pelan-pelan aja ya!”.
4. Kasih Sayang Tulus dan Emosi Yang Jujur
Hampir sebagian perilaku anak yang muncul dimaksudkan untuk menumbuhkan simpati orang tua. Terkadang anak salah memperlihatkan emosinya. Ia membanting barang hanya karena ingin didengar. Maka, orang tua harus memperlihatkan emosi dengan tepat. Sebagai orang tua yang mencintai mereka, maka saat anak berperilaku agresif lah kita harus jujur memperlihatkan kasih sayang kita dengan tulus.
Keempat refleksi tersebut menjadi tantangan untuk saya pribadi dalam melakukannya. Tidak mudah, tapi perlu dipelajari dan diaplikasikan. Sebab, bahagianya anak, adalah bahaginya orang tua. Tawanya anak adalah semangatnya orang tua. Semangat tersebut bukan hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa kita ingin menjadi orang tua yang baik, namun sebagai bentuk tanggung jawab kita dihadapan Allah SWT.