Kebanyakan orang membaca buku bukan sesuatu yang dirindukanbagi mereka. Terlebih lagi melihat keadaan siswa sekarang yang menjadikan handphone lebih penting dari membaca buku. Berbeda dengan siswa-siswa pedalaman yang menjadikan buku sebagai hal yang dirindukan.
Perihal ini suatu tantangan Saya menjadi Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia di sekolah kelas filial SDN 004 Rantau Langsat. Sekolah yang nantinya akan memiliki ciri khas literasi. Melihat kondisi sekolah yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kondisi sekolah, guru dan siswa yang terbilang jauh dari kata berpendidikan. Sekolah ini hanya memiliki 2 kelas. Proses kegiatan belajar mengajar terdiri dari kelas tinggi dan kelas rendah. Kelas tinggi terdiri dari kelas 4 dan 5 dan kelas rendah terdiri dari kelas 1, 2, dan 3. Kalau guru yang hadir hanya 1 guru dari 3 guru yang ada. Maka guru tersebut menggabungkan menjadi satu kelas dari 30 siswa yang ada. Guru seharusnya datang mengajar secara bergantian dalam sebulan. Mereka hadir ke sekolah 2 sampai 3 bulan kemudian. Hal ini mengakibatkan hampir 80% siswa tidak lancar dalam membaca. Sehingga membaca bukanlah bagian yang mereka sukai.
Sempat terpikir bagaimana bisa mereka untuk bisa terlaksananya program literasi. Sementara buku-buku bacaan saja tidak punya. Apalagi bangunan perpustakaan. Dikarenakan lokasi sekolah yang sulit aksesnya sehingga luput dari perhatian pemerintah. Menuju ke sekolah tersebut harus melewati sungai yang membutuhkan waktu 2 sampai 3 jam perjalanan dari pusat desa. Lokasi sekolah berada di tengah hutan yang masuk kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Namun, itu semua tidak menjadi alasan jika belum mencoba untuk berusaha menerapkan program literasi.
Berbekal buku yang dibawa dari Bogor untuk sekolah di penempatan. Menjadi langkah awal untuk menarik siswa membaca buku dan program literasi. Saat buku dibagikan kepada siswa, terlihat rasa penasaran mereka untuk bisa membaca buku yang telah dibagikan. Lembar demi lembar buku mereka buka dan dibaca. Saya mulai berpikir bahwa mereka ada ketertarikan untuk membaca. Terlihat dari raut wajah mereka rasa ingin tahu terhadap cerita yang ada dibuku.
Dari sini saya mulai mencoba untuk membuat program agar para siswa terbiasa untuk membaca buku. Maka program yang pertama kali diterapkan adalah setiap awal pelajaran waktu guru dan siswa membaca buku apa saja yang mereka sukai selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun, program ini belum dapat diberlakukan untuk siswa dikelas rendah, menimbang sebagian besarnya memang belum bisa membaca. Oleh sebab itu, di kelas rendah guru yang mengajar akan membacakan 1 buah buku cerita.
Sudah Hampir 1 bulan program terus berjalan. Hal yang sangat disayangkan, buku yang ada di sekolah hampir semua sudah pernah dibaca oleh para siswa. Dikarena buku yang ada di sekolah sangatlah terbatas. Dari situ kebosanan mulai tampak terlihat di wajah para siswa yang mulai enggan untuk kembali mengambil buku untuk di baca serta masih banyak siswa yang belum tahu pesan-pesan dari buku yang mereka baca. Suatu saat ketika Saya memulai kegiatan literasi salah seorang siswi yang mulai mengutarakan keluhannya.
“Sudah dibaca semua bukunya, Pak.” Sahut salah satu siswi.
“Iya, nanti akan ada buku datang lagi, ya.” Jawab saya, supaya mereka tetap semangat membaca.
Ini sudah menjadi tahapan yang pasti akan dilalui. Di mana para siswa akan merasa bosan dan jenuh. Beberapa bantuan buku bacaan pun semakin banyak berdatangan. Dan buku pun tertumpuk dalam kardus. Kemudian buku disusun di atas sebuah papan yang ditempelkan menyandar di dinding kelas. Tentunya kejadian terulang tidak diinginkan lagi.
Terpikir untuk mewujudkan nyaman para siswa untuk membaca lagi. Maka kita semua mengawali dengan bergotong royong untuk membersihkan kelas. Mengambil air dari tepian sungai Batang Gansal. Air digunakan untuk mengepel kelas yang berlantaikan semen dan debu yang cukup tebal. Kelas pun mulai ditata dengan rapi. Melihat ada bagian yang bisa dimanfaatkan untuk tempat duduk santai. Ada sisa karpet musala yang dimanfaatkan untuk alas duduk para siswa membaca nantinya. Karpet itu pun dibentang di sudut kelas dengan berukuran 1,5 x 1,5 meter.
Kelas yang nyaman belum membuat siswa untuk berminat dalam membaca buku. Karena buku yang ada masih tertumpuk dalam sebuah kardus. Membuat siswa masih bersikap kurang peduli dengan buku yang telah mereka baca. Maka buku yang sudah mereka baca terkadang mereka enggan untuk meletakkan dan menyusunnya kembali. Terlepas dari itu mereka pun hanya membaca sekedarnya saja.
Dari program SLI (Sekolah Literasi Indonesia) ada namanya ceruk ilmu. Ceruk ilmu merupakan salah satu kekhasan literasi dari Program Pengembangan Sekolah Literasi Indonesia. Ceruk ilmu termasuk salah satu indikator dari kriteria Sekolah Literasi Indonesia. Ceruk ilmu sendiri artinya adalah pojok baca untuk mendapatkan ilmu. Ceruk ilmu diletakkan di pojok ruang kelas maupun ruang kantor guru. Adanya sudut ruang kelas memudahkan siswa untuk membaca dan mencintai buku.
Semula beranggapan kalau itu hanya sekedar tempat rak buku saja. Setelah itu mulailah diterapkan “one book–one sharing”. Salah satu inovasi yang diterapkan agar siswa dituntut benar-benar membaca dan berbagi cerita dengan apa yang telah mereka baca. Langkah yang pertama dilakukan adalah membuat peraturan dan kesepakatan bersama para siswa. Mulai dari kerapian, kebersihan ceruk ilmu dan meletakkan buku pada tempatnya. Semuanya bermula dengan membangun kesadaran para siswa betapa pentingnya semua itu.
Kemudian dilanjut dengan penerepan “one book–one sharing”. Kegiatan ini dilakukan bersama siswa sebelum pembelajaran dimulai. Setiap siswa mengambi 1 judul buku bacaan dari ceruk ilmu. Siswa membaca buku selama 10 menit. Setelah itu, guru membuat games tepuk tunggal dan ganda. Setiap siswa yang salah ketika games tersebut akan menyampaikan apa yang telah dibaca kepada teman-temannya. Di awal memang sulit untuk mengarahkan siswa untuk mau maju menyampaikan isi buku yang dibaca kepada teman-temannya.
“Pak, malu,” sahut salah seorang siswa yang mendapat giliran untuk maju di depan kelas. “Ayo pasti bisa. Kamu harus mencobanya dulu!” jawab Saya. Memang tak mudah untuk mengeksplorasi keberanian siswa-siswa di sini. Rasa malu yang masih tertanam dan melekat di diri mereka belum dapat dipisahkan begitu saja. Inilah salah satu yang harus dilakukan agar mereka terbiasa untuk membaca dan menceritakan kembali apa yang mereka baca.
Seiring waktu berjalan akhirnya mereka mulai terbiasa untuk membaca. Bahkan di sela-sela waktu keluar main mereka pergunakan untuk membaca buku. Dengan ceruk ilmu yang telah disediakan di sudut kelas dan adanya tempat-tempat santai untuk membaca buku. Membuat siswa antusias untuk membaca buku. Bahkan ketika jam sekolah sudah usai dan kelas-kelas sudah terkunci. Beberapa orang siswa yang tinggal di dekat sekolah datang ke sekolah untuk meminta kunci kelas. Dan tidak hanya itu saja, hampir semua siswa sekarang sudah memahami isi buku yang mereka baca.
Ceruk ilmu kini sudah ibaratkan perpustakaan mini. Tempat meraka berkumpul untuk membaca. Tempat guru untuk memberdayakan buku sebagai sumber belajar. Kini ceruk ilmu menjadi salah satu kunjungan wajib bagi mereka. Terlihat dari mereka sering meminjam buku untuk dibawa pulang. Inilah yang namanya bisa karena terbiasa. Kegiatan yang membuat siswa nyaman itu sangatlah penting. Memberikan kesempatan mereka untuk berekspresi juga tidak kalah penting. Terkadang hal-hal yang baik perlu dipaksakan untuk dilakukan sehingga menjadi hal yang biasa untuk dilakukan.