“Bullying” Nyata yang Dilakukan Guru. Apakah Itu?
Oleh: Muh Shirli Gumilang
Kasus bullying atau perundungan kerap kali terjadi di dalam dunia pendidikan. Berdasarkan hasil kajian dari Konsorsium Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menerangkan bahwa kasus perundungan di Indonesia hampir terjadi di setiap sekolah, di setiap jenjang pendidikan. Mulai dari perundungan verbal sampai pada tingkat perundukan penindasan fisik atau kekerasan, bahkan sampai berujung pada kasus kematian akibat perundungan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mencatat sebanyak 480 aduan kasus perundungan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2016 – 2020. Data tersebut yang diperoleh atas aduan masyarakat. Namun, penulis meyakini kasus perundungan yang terjadi jauh lebih banyak dan jauh lebih mengerikan. Sementara, menurut studi yang dilakukan UNICEF terkait kasus perundungan yang terjadi di Indonesia menyebutkan bahwa 41% pelajar di Indonesia berusia 15 tahun setidaknya pernah mengalami kasus perundungan beberapa kali dalam satu bulan.
Ironinya adalah kasus perundungan terbesar terjadi di sekolah. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim yang menyampaikan bahwa “bullying terhadap pelajar di Indonesia masih sangat tinggi.” Masih tingginya kasus perundungan ini harus menjadi perhatian banyak pihak agar segera diselesaikan. Nadiem menambahkan, perundungan menjadi masalah besar bagi dunia pendidikan Indonesia. “Sebesar 24,4 persen dari peserta didik kita berpotensi mengalami insiden perundungan, ini angka yang sangat besar;” kata Nadiem di DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 12 April 2022.
Tiga dosa besar pendidikan yang saat ini menjadi fokus perbaikan Kemendikbudritek adalah perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi. Artinya perundungan menjadi satu diantara masalah utama pendidikan Indonesia. Hal ini perlu manjadi perhatian bersama. Mengingat pendidikan bukan hanya terjadi di persekolahan tetapi juga di masyarakat dan di lingkungan keluarga. Sadar atau tanpa disadari kasus perundungan begitu dekat dengan lingkungan sekitar kita. Perundungan bahkan terjadi di lingkungan sekolah yang kita ketahui bersama di sekolah adalah tempat ditempanya siswa sehingga memiliki akhlak mulia sesuai dengan amanah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kekerasan pada anak dapat dilakukan oleh siapa saja, entah oleh sesama anak itu sendiri, bahkan tidak menutup kemungkinan kekerasan juga dapat dilakukan oleh guru. Parahnya adalah tidak sedikit perundungan itu juga dilakukan oleh sebagian (oknum -red) guru yang tidak paham tentang bahaya perundungan bagi tumbuh kembang siswa. Bisa jadi diantara pembaca tulisan ini, saat ditanya apakah pernah mengalami perundungan yang dilakukan oleh guru? Penulis bahkan dapat memastikan jawabannya adalah “Ya pernah”. Bisa dalam arti perundungan verbal atau bisa jadi perundungan penindasan fisik ringan sampai berat. Dan kalau pun pembaca merasa bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan perundungan dari guru. Mari kita bahas terkait definisi perundungan itu sendiri.
Perundungan menurut KBBI adalah proses, cara, perbuatan merundung yang dapat diartikan sebagai seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah darinya. Biasanya dengan memaksanya untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku. Sedangkan menurut American Psychological Association (APA) mendefinisikan perundungan adalah sebagai sebuah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara berulang dan disengaja untuk menimbulkan perasaan tidak nyaman maupun cidera bagi korban. Artinya bahwa perundungan dapat dilakukan dari seseorang yang memiliki kuasa untuk mengintimidasi dan memaksakan kehendak sehingga dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi korban perundungan.
Mari kita cerna lebih dalam tentang pengertian perundungan, dalam hal ini guru memiliki kuasa untuk melakukan intimidasi terhadap siswa. Guru dapat dengan mudah memerintahkan bahkan memaksakan kehendaknya karena memiliki kuasa atas siswanya. Selanjutnya, bisa jadi dengan kehendak guru tersebut siswa merasa tidak nyaman. Jika hal ini dilakukan dengan sengaja tanpa dasar memberikan pembelajaran terhadap siswa, hanya berdasar pada ego sang guru karena memiliki kuasa. Hal inilah yang penulis maksud sebagai perundungan yang dilakukan oleh guru.
Sampai sejauh ini, apakah sudah dapat dipahami bahwa potensi guru melakukan perundungan kepada siswa sangat mungkin terjadi. Untuk dapat memahami lebih dalam, penulis berikan contoh perundungan yang sering dilakukan oleh guru. Misal adalah pemberian PR (Pekerjaan Rumah) yang sangat banyak tanpa memperhatikan konteks pencapaian belajar dan kemandirian siswa.
Pemberian PR yang Banyak adalah Perundungan Nyata oleh Guru.
Menurut Wikipedia Pekerjaan Rumah (PR) adalah tugas mandiri terstruktur yang diberikan guru untuk dikerjakan di rumah sebagai latihan tambahan. Dalam Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) yang dibuat seorang guru, umumnya menyertakan bagian tugas mandiri terstruktur di rumah. PR juga diberikan persentase dalam penilaian harian. Pada dasarnya PR adalah latihan tambahan dan hal tersebut merupakan tugas terstruktur. PR seharusnya menjadi latihan tambahan, bukan semuanya dijadikan PR, materi belum selesai karena durasi pelajaran diberikan PR, guru ada rapat diberikan PR, setiap hari siswa mendapatkan beban PR yang begitu menumpuk.
Hal ini tidak sesuai prinsip dalam pemberian PR. Seharusnya PR bersifat aplikatif yang dapat menguatkan materi ajar yang sudah diberikan, menjadi bridging atau jembatan untuk mengetahui pemahaman baru atau sebagai bahan evaluasi terstruktur. Dalam hal ini bukan berarti pemberian PR itu tidak baik dalam menunjang capaian pembelajaran. Tetapi prinsip dalam memberikan PR yang tidak dipahami bersama membuatnya dirasa tidak efektif.
Sejalan dengan hal tersebut, Yatina Debora dalam tulisan yang berjudul “Saatnya Mengubah Pekerjaan Rumah Anak Sekolah” mengemukaakan bahwa peneliti dari Duke Univercity menemukan dalam 60 penelitian sejak 1987 hingga 2003, bahwa PR yang bersifat akademis tak memiliki dampak positif pada prestasi belajar seorang siswa.
Lebih lanjut, PR seharusnya dapat menumbuhkan motivasi dan kemandirian belajar siswa. Tapi dalam kenyataannya justru sebaliknya dengan adanya PR, siswa justru merasa sangat terganggu dan jenuh karena selalu ada PR dari sekolah. Alih-alih untuk menguatkan materi ajar, dengan adanya PR justru menghilangkan semangat kemandirian belajar pada akhirnya siswa tidak nyaman dengan adanya PR yang menumpuk. Apa lagi pemberian PR dengan intimidasi hukuman bagi yang tidak mengerjakan, padahal unung-ujungnya PR tersebut tidak jarang untuk diperiksa. Hal ini sudah termasuk dalam kategori perundungan.
Tulisan ini merupakan keresahan penulis dalam melihat fenomena pendidikan Indonesia. Sudah 77 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Bagaimana tidak, contoh kecilnya dalam pemberian PR. Setiap generasi pasti selalu mengeluhkan soal PR yang menumpuk, tetapi tidak pernah ada perubahan yang berarti. Bahkan di era Merdeka Belajar saat ini, siswa masih belum merdeka dalam belajar. Pikirannya masih terjajah dan terintimidasi oleh guru yang selalu memberikan PR yang menggunung. PR yang hanya sebagai dalih supaya siswa mandiri belajar tapi nyatanya tidak efektif. PR yang hanya membuat siswa tertekan dan hilang waktu berharga untuk bersosialisasi, hilang waktu untuk bermain, hilang waktu untuk belajar bermakna dengan lingkungannya. Itulah kenapa pendidikan Indonesia tidak pernah maju. Dalam hal pendidikan Indonesia selalu menempati posisi rendah. Padahal kita ketahui bersama bahwa pendidikan kunci peradaban sebuah bangsa.
Jadi bagaimana para pembaca? Sudah mulai tercerahkan kah dari pemaparan penulis? Bahwa sebenarnya kita semua pernah mengalami perundungan yang dilakukan oleh (oknum -red) guru yang tidak memahami hakikat dalam pemberian PR. Pertanyaan saya tentang “Apakah pernah mengalami perundungan yang dilakukan oleh guru?” Saya yakin kita dapat menjawabnya. “Ya Pernah”. Semoga tulisan ini dapat menggugah para pendidik dan merefleksikan bersama “Apakah pemberian PR yang begitu banyak sudah efektif?” Harapannya tulisan ini bukan sekadar keresahan semata tanpa membuahkan hasil. Saya yakin dan percaya sedikit gagasan ini dapat mengubah pendidikan Indonesia. (_mSg_)